Oleh : Yuyun Nuriyah Muslih
Sekretaris Prodi KPI STAINU Tasikmalaya
REKAM– Saat ini hampir seluruh Negara di belahan dunia mengalami pandemi yang disebabkan oleh wabah Corona Virus Disease-19 (COVID-19). Berbagai kebijakan dan himbauan pun diberlakukan, guna memutus rantai penyebaran virus. Salah satunya dengan pembatasan sosial atau membatasi aktivitas di luar rumah. Dalam pelaksanaanya, sistem daring/online menjadi salah satu sistem yang terpilih dalam mendukung kebijakan pemerintah tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, maka menjadi sebuah kewajaran jika penggunaan internet di masa pandemi menjadi bagian penting yang sulit dipisahkan dari tatanan kehidupan, terutama dalam pemenuhan berbagai kebutuhan sehari-hari, seperti: akses berbagai informasi, belajar online, bekerja online, belanja onine, pembayaran online, internet banking, telepon internet, musik online, transportasi online, game online, video conference, e-book/e-reader dan lainnya. Bahkan berdasarkan hasil laporan Data Reportal pada bulan januari 2022 bahwa jumlah pengguna internet Indonesia mencapai 204,7 juta orang.
Adapun tingkat penetrasi internet Indonesia mencapai 73,7 persen dari total populasi pada awal tahun 2022. Dari adanya hasil laporan tersebut, tidak menutup kemungkinan tentang adanya ancaman bahaya dari candu internet yang kini sedang mengintai diri utamanya keluarga kita.
Dikutip dari pendapatnya Dr. Keith W. Beard (2005) bahwa ada 8 karakteristik yang dapat digunakan untuk mengenali apakah seseorang mengalami gangguan penggunaan internet (kecanduan internet) atau tidak?. Jika 5 atau lebih dari ciri tersebut sesuai atau menggambarkan kondisi seseorang, maka orang tersebut dapat di diagnosis sebagai kecanduan internet, berikut diantaranya:
1. Menyibukan diri dengan internet, termasuk memikirkan aktivitas online sebelumnya atau mengantisipasi sesi online berikutnya.
2. Penggunaan internet dalam waktu lama atau terus meningkat untuk mencapai kepuasan.
3. Berusaha melakukan berbagai upaya untuk dapat mengendalikan, mengurangi atau mengehentikan penggunaan internet, namun tetap gagal.
4. Membiarkan diri tetap online dari waktu yang telah ditentukan.
5. Adanya perasaan Gelisah, murung, tertekan, atau mudah tersinggung ketika mencoba untuk mengurangi atau menghentikan penggunaan internet.
6. Mulai terlihat adanya anti sosial yang dapat berimbas pada resiko kehilangan hubungan baik dengan keluarga, pekerjaan, atau kesempatan pendidikan atau karier, yang disebabkan oleh penggunaan internet.
7. Sering berbohong kepada anggota keluarga, terapis, atau orang lain untuk menyembunyikan tingkat penggunaan internet yang dilakukannya.
8. Penggunaan internet dilakukan sebagai cara untuk keluar dari masalah atau menghilangkan suasana hati yang tidak menentu, seperti: perasaan tidak berdaya, rasa bersalah, cemas dan depresi.
Layaknya sebuah penyakit pada umumnya, maka dalam hal ini perlu untuk mulai diperhatikan tentang adanya obat penawar demi teratasinya berbagai kemungkinan buruk yang mungkin timbul. Berkaitan dengan hal tersebut, Natalie Hoeg (2019), menyatakan bahwa tidak ada satupun perawatan khusus yang dapat dilakukan ataupun digunakan untuk mengatasi kecanduan internet. Namun demikian, perhatian dan dukungan dari keluarga atau orang-orang terdekat dapat menjadi salah satu cara efektif untuk mencegahnya, salah satunya yaitu dengan mengungkapkan kehawatiran kita dengan penuh cinta dan kasih sayang terhadap perilaku penggunaan internet yang diperlihatkan oleh si pecandu. Namun, jika perilaku tersebut sudah mulai menampakan adanya kecemasan, depresi, atau gangguan obsesif-kompulsif, maka pada tahap ini keluarga dapat meminta bantuan atau bekerja sama dengan orang-orang ahli seperti: konselor, psikolog, dan psikiater. Dengan demikian maka diharapkan kecanduan yang dialami mendapatkan penanganan yang tepat dan efektif.
Komentar